LEBIH DEKAT DENGAN KAMI DI -FB:Majalah SuryaMedia dan TWITTER: @SuryaMediacom-

SURYA MEDIA

08/09/15

R Ng Ronggowarsito

Dari Seorang Jurnalis Hingga dimusuhi Belanda

ewuhaya ing pambudi, melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndidalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada
Syair itu terpahat dalam prasasti yang ada di Makam Raden Ngabehi Ronggowarsito. Makam bersejarah itu yang terletak Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Jika diterjemahkan secara tematis syair itu bermakna menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Itulah salah satu karya syair dari Ronggowarsito. Dalam berbagai analisis sejarah, syair itu sebagai ungkapan kekesalan Ronggowarsito terhadap pemerintahan Pakubuwana IX yang dipenuhi penjilat yang hanya memburu keuntungan pribadi tanpa peduli kepentingan rakyat. Syair itu juga dianggap sebagai tulisan kritis yang menyerang pemerintahan kolonial Belanda.
Analisis sejarah itu memang berdasar. Hal ini terlihat dari cerita sejarah bahwa hubungan Ronggowarsito dengan Sang Raja maupun dengan pemerintah kolonial Belanda kurang harmonis. Ronggowarsito dianggap sebagai jurnalis yang berbahaya lantaran tulisan-tulisan kritisnya. Tulisannya juga mampu membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Tulisan-tulisan itu juga yang menyebabkan pujangga besar ini keluar dari jabatan redaksi Surat Kabar Bramartani di tahun 1870.
Ronggowarsito meninggal secara misterius pada 24 Desember 1873. Anehnya tanggal kematiannya tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yakni Serat Sabdajati. Secara tekstual dalam karya itu berbunyi "Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon." Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5 Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.
Hal ini memunculkan sinyalemen bahwa Sang Pujangga meninggal lantaran dihukum mati, sehingga mengetahui secara persis hari kematiannya. Namun demikian, muncul pendapat lain dari pihak Keraton Surakarta yang berpendapat bahwa Ronggowarsito merupakan peramal ulung. Tak mengherankan jika dia dapat meramalkan secara detail hari kematiannya. Berbagai pendapat ini melingkupi misteri di balik kematian Sang Pujangga ini. Hingga sekarang, berbagai pendapat ini masih menyisakan perdebatan.
Namun di balik perdebatan itu, Makam Ronggowarsito masih tetap menarik perhatian peziarah. Juru kunci makam Nardiyono mengungkapkan peziarah datang dari berbagai daerah. Tak heran jika Pemerintah Kabupaten Klaten menempatkan Makam Ronggowarsito sebagai salah satu lokasi wisata religi.(yon/Berbagai Sumber)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar