Angkringan ini tidak pernah memandang
strata maupun kelas sosial. Siapapun, baik yang datang menggunakan mobil
keluaran Mercedes Benz sampai konsumen yang datang menggunakan sepeda onthel,
bisa duduk bersama beralas tikar. Atau duduk di kursi panjang dari kayu, di
tepian gerobak si penjual.
Menu hik memang bukan sajian kuliner
berkelas. Sebutannya pun terbilang unik. Sega kucing (istilah untuk nasi sambal
dengan lauk secuil kecil bandeng), pisang
owol, teh panas, kopi dan menu lainnya.
Beberapa makanan ringan seperti jadah bakar dan gorengan berbagai jenis pasti menjadi alternatif jika perut penuh
terisi.
“Di sinilah saya dan teman-teman
sering ngumpul bareng. Tidak hanya menikmati suguhan makannya. Tetapi, kami
bisa sharing bisnis, perkembangan usaha dan lainnya. Suasananya nyantai, nggak
terkesan resmi seperti di restoran,” ujar Adi Surya Pratama, warga Pekalongan
yang bekerja di Klaten.
Ya, angkringan memang menjadi sarana
bagi banyak kalangan untuk bermacam kepentingan. Para penikmatnya bebas bicara
apa saja. Mulai aktivitas sehari-hari hingga kritik terhadap sebuah isu yang
tengah hangat. Kendati tidak lantas tanpa aturan, komunitas penikmat hik ini
bisa tertawa lepas, jika topik yang diangkat sebagai bahan obrolah santai
merangsang syaraf tertawa manusia. Sambil bicara tentang berbagai hal, suguhan
hik yang sangat sederhana selalu menjadi teman setia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar