LEBIH DEKAT DENGAN KAMI DI -FB:Majalah SuryaMedia dan TWITTER: @SuryaMediacom-

SURYA MEDIA

25/08/15

Angkringan, Venue Tanpa Kasta


Pernah merasakan nikmatnya teh ginastel ? Istilah seperti itu hanya ada di warung kaki lima yang di Klaten, maupun daerah Eks Karesidenan Surakarta lebih akrab disebut hik. Di beberapa tempat, tempat makan tradisional ini di sering dinamakan angkringan. Hampir di setiap tepian jalan, sudut perempatan hingga ke pojok kampung, hik ini menyebar. Meski menunya standar, pengunjungnya justru relatif banyak dari berbagai kalangan.
Angkringan ini tidak pernah memandang strata maupun kelas sosial. Siapapun, baik yang datang menggunakan mobil keluaran Mercedes Benz sampai konsumen yang datang menggunakan sepeda onthel, bisa duduk bersama beralas tikar. Atau duduk di kursi panjang dari kayu, di tepian gerobak si penjual.
Menu hik memang bukan sajian kuliner berkelas. Sebutannya pun terbilang unik. Sega kucing (istilah untuk nasi sambal dengan lauk secuil kecil bandeng), pisang owol, teh panas, kopi dan menu lainnya.  Beberapa makanan ringan seperti jadah bakar dan gorengan berbagai jenis pasti menjadi alternatif jika perut penuh terisi.
“Di sinilah saya dan teman-teman sering ngumpul bareng. Tidak hanya menikmati suguhan makannya. Tetapi, kami bisa sharing bisnis, perkembangan usaha dan lainnya. Suasananya nyantai, nggak terkesan resmi seperti di restoran,” ujar Adi Surya Pratama, warga Pekalongan yang bekerja di Klaten.
Ya, angkringan memang menjadi sarana bagi banyak kalangan untuk bermacam kepentingan. Para penikmatnya bebas bicara apa saja. Mulai aktivitas sehari-hari hingga kritik terhadap sebuah isu yang tengah hangat. Kendati tidak lantas tanpa aturan, komunitas penikmat hik ini bisa tertawa lepas, jika topik yang diangkat sebagai bahan obrolah santai merangsang syaraf tertawa manusia. Sambil bicara tentang berbagai hal, suguhan hik yang sangat sederhana selalu menjadi teman setia.
Banyak tempat memiliki hik. Di Klaten, alun-alun setempat menjadi saksi bisunya. Saat matahari mulai tenggelam, ikon kota bersinar tersebut memulai geliatnya. Di Alun-alun Klaten, tidak kurang terdapat 16 angkringan yang mendirikan tenda di tepi alun-alun. Banyak memang, tetapi masing-masing memiliki komunitas pelanggan tetap.
Setting venue warung wedangan ini biasanya standar. Sebuah gerobak, dengan beberapa kursi kayu panjang, atap dari tenda plastik dan tikar. Peralatan tersebut tak pernah lepas dari satu unit angkringan ketika beraktivitas. Jangan kemudian membayangkan warung jenis ini terang benderang dan gegap gempita. Suasananya temaram. Hik yang masih sangat tradisional, malah hanya diterangi lampu minyak. Namun di perkotaan, sudah menggunakan lampu meski tak lebih dari 10 watt.  Ini tidak kemudian menghilangkan nuansa tradisional hik. Tempat wedangan ini pun tetap memiliki tempat tersendiri bagi penikmatnya. (yon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar